Islam merupakan satu-satunya agama yang mengajarkan sebuah konsep
Ketuhanan berupa pengesaan Tuhan, dalam rangka memurnikan keagungan-Nya
selaku Pencipta tunggal, Pembina tunggal (dari alam semesta), serta
Illah (sesembahan) tunggal.
Dalam penjabaran Al-Quran, dapat terlihat
sebuah penekanan bahwa Allah adalah Dzat Yang Tunggal :
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula
diperanakkan dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas (112) : 1-4).
Allah itu Esa, bukan 1 dari 3, atau 3 yang 1. Allah tidak punya anak,
Allah itu tunggal. Perbedaan mendasar inilah yang membedakan konsep
tauhid Islam dengan konsep ketuhanan yang lain. Seperti misalnya
Trinitas Kristiani.
Menurut iman kristiani, tuhan sebagai oknum/pribadi
memiliki dalam diri-nya 3 (tiga) kodrat kuasa-nya atau kodrat
Ketuhanan-nya, yaitu:
- Mencipta: Kuasa Mencipta ini dalam Perjanjian baru disebut dengan predikat BAPA (Father) (Matius 11:25, lukas 10:21)
- Berfirman: Kuasa berfirman (dan bertindak) ini dalam Perjanjian baru disebut dengan predikat ANAK (Son) (Yohanes 1:14, Yohanes 1:18, Matius 16:16)
- Roh Allah: Roh Allah yang berkuasa memelihara, mengayomi, membimbing dan menolong ini dalam Perjanjian baru disebut dengan Roh Kudus (Holy Ghost/Spirit) (Yohanes 14:16-17, Yohanes 14:26, 15:26)
Dalam ajaran Islam, satu-satunya yang berhak menginterpretasikan
(menta’wil) pemaknaan diri Tuhan, adalah diri-Nya sendiri, karena logika
dan rasio manusia sangatlah terbatas. Hal ini dijelaskan secara langsung
oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 7 :
”Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu".
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat (ayat-ayat hukum yang gamblang maknanya), itulah pokok-pokok isi Al-Quran, dan (sedangkan) yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat (Samar-samar
maknanya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya
(penjelasannya), padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman
kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi
Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.” (Ali Imran (3) : 7)
Yang dimaksud ayat-ayat mutasyabihaat dalam ayat tersebut
menurut sepakat ahli tafsir adalah ayat-ayat yang pengertiannya hanya
Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang
ghaib, misalnya ayat-ayat yang mengenai sifat-sifat Allah. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan bahwa Dzat Tuhan hanya Dia sendiri yang
mengetahui (hakikatnya), sedangkan makhlukNya hanya (cukup) tahu sedikit
saja (karena logika dan rasio manusia terbatas).
I. Lalu Tuhan (Allah) itu Dekat, atau nun-jauh disana?
Pertanyaan inilah yang menjadi focus utama dari orang-orang yang
mencoba mengingkari eksistensi Tuhan, dan berpegang pada anggapan bahwa:
“Ide tentang tuhan hanyalah ilusi. Namun begitu, (tuhan) mulai
dibutuhkan manusia seperti seorang anak yang membutuhkan seorang bapak
yang melindunginya. Selayaknya manusia modern saat ini mencari apa yang
terdapat dalam dirinya (eksistensi diri sebagai sebuah hal yang mutlak,
bukannya tuhan), bukan malah mencari apa yang berada jauh diluar sana
(maksudnya adalah tuhan).” (kutipan dari tulisan seorang psiko-analitis
ateis bernama Sigmund Freud). Bahkan, mereka (yang merasa dijauhi
Tuhan), malah cenderung mengarahkan pemikirannya kepada ateisme.
Diantaranya seperti, Rene Descartes yang terkenal dengan “Cogito Ergo Sum” – nya
“Aku berfikir, maka aku ada” – hal ini berarti bahwa eksistensi manusia
adalah kehendaknya sendiri dan bukan kehendak tuhan sama sekali. Yang
ada manusia adalah tuhan bagi dirinya sendiri (walaupun kebanyakan orang
beranggapan bahwa pendapatnya didasari iman katholik dan sains, namun
justru terlihat bahwa pendapatnya lebih mengacu kepada ateisme). Ludwig
Feuerbach yang beranggapan : “Tuhan (dalam agama) hanya sebagai proyeksi dari kehendak manusia
saja” – bisa juga berarti tuhan adalah karangan nabi dan orang-orang
zaman dahulu. Karl Marx yang beranggapan bahwa “agama adalah candu masyarakat, karena agama (yang dimaksud adalah Kristen), masyarakat menjadi tidak maju dan tidak bisa bersikap rasional.”
Sangat wajar apabila mereka mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang
mentah tentang hakikat tuhan, karena sesungguhnya dasar dari pemikiran
mereka adalah sebuah skeptisme dan The Methode of Doubt (seperti
yang digunakan oleh Descartes dalam mencari eksistensi tuhan). Jadi
seolah-olah tuhan itu berada dalam sebuah sisi keraguan (abu-abu) dan
manusia dapat secara bebas menginterpretasikannya. Hal inilah yang sudah
diperingatkan Allah SWT secara langsung seperti yang sudah dijabarkan
diatas (QS. Ali Imraan (3) : 7).
Lalu dengan demikian, apakah Tuhan itu dekat dengan makhlukNya, atau
malah jauh dari makhlukNya?? Mari simak Firman Allah SWT berikut ini :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaf (50) : 16).
Maksud dari ayat ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa segala sesuatu
yang dikerjakan oleh manusia tidak akan terlepas dari pengawasanNya.
Namun demikian, kata-kata yang ditegaskan dalam ayat tersebut sebenarnya
menunjukkan bahwa Tuhan sebenarnya merupakan Dzat yang menjadikan
eksistensi makhlukNya sebagai tanda-tanda dari eksistensi diriNya
sendiri (tetapi bukan berarti Dzat Allah menyatu dengan Dzat
MakhlukNya). Al-Quran memberikan citra monis
(Tauhid/ke-Esa-an) Tuhan dengan menjelaskan realitas-Nya sebagai medan
semua yang ada, dengan Tuhan menjadi sebuah konsep tunggal yang akan
menjelaskan asal-muasal semua hal yang ada:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Akhir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadid (57):3)
II. Dia Dekat, tetapi Tidak Terlihat. Lalu, Bagaimana Dapat Mengenali-Nya?
Sesungguhnya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan, selayaknya
berkacalah pada proses alam (Cara ini juga sangat dianjurkan oleh
Al-Quran. Namun cara ini juga yang dilakukan oleh para ateis.
Bedanya,
para ateis berkesimpulan bahwa tuhan itu palsu/tidak ada, karena mereka
terlalu mentah dalam berkesimpulan). Logika sederhananya adalah :
misalnya setumpuk besi tidak akan bisa merakit dirinya sendiri menjadi
sebuah pesawat terbang, maka begitu pula dengan alam semesta. Sedangkan
metode yang dilakukan oleh para ateis adalah sistem penalaran logika
terbalik.
Misalnya : Bumi berputar karena adanya efek gravitasi dari
Matahari dan perputarannya mengelilingi matahari, maka begitu pula
keseluruhan alam semesta (semua ini ada karena adanya kesetimbangan yang
ada dengan sendirinya, tanpa campur tangan siapapun. Alam punya sistem
sendiri, termasuk sistem restorasi, oleh karenanya alam semesta tidak
akan hancur – hukum kausalitas alam-).
Penalaran logika semacam ini
sesungguhnya merupakan sebuah penyimpangan dari sifat logika itu sendiri
yang sesungguhnya merupakan media yang akan membawa kepada suatu
kesimpulan yang tunggal. Kalaulah mereka beranggapan bahwa alam memiliki
sistem kausalitas sendiri, selayaknya mereka berfikir juga tentang diri
mereka, bagaimana mereka dapat bergerak tanpa adanya sistem syaraf
selaku sistem koordinasi dalam tubuh? Maka seharusnya kesimpulan yang
dapat diambil adalah sistem kausalitas tersebut merupakan bagian dari
sebuah sistem koordinasi diluar kuasa alam semesta itu sendiri.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda(kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal.” (Ali Imran (3) : 190)
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri,
hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
(Fushilat (41) : 53)
III. Masih tidak cukup? Atau masih ragu?
“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi (baca : alam semesta) itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya (*teori big bang
: dahulu, kurang lebih 15 milyar tahun lalu, semua materi alam semesta
adalah suatu gumpalan dengan volume hampir nol. Lalu gumpalan itu
meledak dengan ledakan yang dahsyat membentuk struktur alam semesta
seperti sekarang, melalui proses yang sangat panjang). Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (Fakta biologis : 70% materi makhluk hidup adalah air). Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Al-Anbiya (21) : 30)
Tanda-tanda tersebut adalah untuk mengenalNya sebagai :
- Sebagai Rabb (Pembimbing dan Pengatur) dari alam semesta : Al-Fatihah (1) : 2
- Sebagai Malik (Raja) dari alam semesta : Al-A’raf (7) : 54
- Sebagai Illah (Sesembahan yang patut disembah) satu-satunya di alam semesta : An-Naas (114) : 3
Memang Allah tidak memaksa manusia menyembahnya, tapi harus diingat,
bahwa segala keputusan ada konsekuensinya. Misal : ketika seseorang
merasa lapar, pilihannya adalah makan atau tidak makan. Ketika ia
memilih makan, maka kebutuhannya akan tuntas dan rasa lapar akan hilang.
Namun ketika ia memilih tidak akan makan, niscaya ia akan kelaparan
bahkan (dalam jangka waktu beberapa hari) dapat menyebabkan kematian.
“Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut
(semua yang disembah selain Allah, termasuk logika dan eksistensi diri)
dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
utas tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” Al-Baqarah (2) : 256
“Hai manusia ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, adakah
sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari
langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapakah kamu
berpaling (dari ketauhidan)??” Faathir (35) : 3
“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-
raguan terhadap Al Quran, hingga datang kepada mereka saat (kematian)
nya dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.” Al-Hajj (22) : 55
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Ar-Rahman (55) : 13
Wallahu A'lam Bisshowwab..
Referensi
Qaradhawy, Yusuf. Hakikat Tuhid dan Fenomena Kemusyrikan, Robbani Press.
Collins, Francis, The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief, Free Press 2006
Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
________.The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982
Skirry, Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008
K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer – Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar