Konsep Tuhan Dalam Islam - Nak Shalih

Breaking

Do good, and good will come to you

BANNER 728X90

Sabtu, 06 Desember 2014

Konsep Tuhan Dalam Islam

Konsep Tuhan Dalam Islam

Islam merupakan satu-satunya agama yang mengajarkan sebuah konsep Ketuhanan berupa pengesaan Tuhan, dalam rangka memurnikan keagungan-Nya selaku Pencipta tunggal, Pembina tunggal (dari alam semesta), serta Illah (sesembahan) tunggal. 
Dalam penjabaran Al-Quran, dapat terlihat sebuah penekanan bahwa Allah adalah Dzat Yang Tunggal :
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlas (112) : 1-4).

Allah itu Esa, bukan 1 dari 3, atau 3 yang 1. Allah tidak punya anak, Allah itu tunggal. Perbedaan mendasar inilah yang membedakan konsep tauhid Islam dengan konsep ketuhanan yang lain. Seperti misalnya Trinitas Kristiani. 
Menurut iman kristiani, tuhan sebagai oknum/pribadi memiliki dalam diri-nya 3 (tiga) kodrat kuasa-nya atau kodrat Ketuhanan-nya, yaitu:

  1. Mencipta: Kuasa Mencipta ini dalam Perjanjian baru disebut dengan predikat BAPA (Father) (Matius 11:25, lukas 10:21)
  2. Berfirman: Kuasa berfirman (dan bertindak) ini dalam Perjanjian baru disebut dengan predikat ANAK  (Son) (Yohanes 1:14, Yohanes 1:18, Matius 16:16)
  3. Roh Allah: Roh Allah yang berkuasa memelihara, mengayomi, membimbing dan menolong ini dalam Perjanjian baru disebut dengan Roh Kudus (Holy Ghost/Spirit) (Yohanes 14:16-17, Yohanes 14:26, 15:26)
Dalam ajaran Islam, satu-satunya yang berhak menginterpretasikan (menta’wil) pemaknaan diri Tuhan, adalah diri-Nya sendiri, karena logika dan rasio manusia sangatlah terbatas. Hal ini dijelaskan secara langsung oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 7 :
”Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu".

Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat (ayat-ayat hukum yang gamblang maknanya), itulah pokok-pokok isi Al-Quran, dan (sedangkan) yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat (Samar-samar maknanya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya (penjelasannya), padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran (3) : 7)

Yang dimaksud ayat-ayat mutasyabihaat dalam ayat tersebut menurut sepakat ahli tafsir adalah ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib, misalnya ayat-ayat yang mengenai sifat-sifat Allah. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Dzat Tuhan hanya Dia sendiri yang mengetahui (hakikatnya), sedangkan makhlukNya hanya (cukup) tahu sedikit saja (karena logika dan rasio manusia terbatas).

       I.            Lalu Tuhan (Allah) itu Dekat, atau nun-jauh disana?

Pertanyaan inilah yang menjadi focus utama dari orang-orang yang mencoba mengingkari eksistensi Tuhan, dan berpegang pada anggapan bahwa: “Ide tentang tuhan hanyalah ilusi. Namun begitu, (tuhan) mulai dibutuhkan manusia seperti seorang anak yang membutuhkan seorang bapak yang melindunginya. Selayaknya manusia modern saat ini mencari apa yang terdapat dalam dirinya (eksistensi diri sebagai sebuah hal yang mutlak, bukannya tuhan), bukan malah mencari apa yang berada jauh diluar sana (maksudnya adalah tuhan).” (kutipan dari tulisan seorang psiko-analitis ateis bernama Sigmund Freud). Bahkan, mereka (yang merasa dijauhi Tuhan), malah cenderung mengarahkan pemikirannya kepada ateisme.

Diantaranya seperti, Rene Descartes yang terkenal dengan “Cogito Ergo Sum” – nya “Aku berfikir, maka aku ada” – hal ini berarti bahwa eksistensi manusia adalah kehendaknya sendiri dan bukan kehendak tuhan sama sekali. Yang ada manusia adalah tuhan bagi dirinya sendiri (walaupun kebanyakan orang beranggapan bahwa pendapatnya didasari iman katholik dan sains, namun justru terlihat bahwa pendapatnya lebih mengacu kepada ateisme). Ludwig Feuerbach yang beranggapan : “Tuhan (dalam agama) hanya sebagai proyeksi dari kehendak manusia saja” – bisa juga berarti tuhan adalah karangan nabi dan orang-orang zaman dahulu. Karl Marx yang beranggapan bahwa “agama adalah candu masyarakat, karena agama (yang dimaksud adalah Kristen), masyarakat menjadi tidak maju dan tidak bisa bersikap rasional.”

 Sangat wajar apabila mereka mendapatkan kesimpulan-kesimpulan yang mentah tentang hakikat tuhan, karena sesungguhnya dasar dari pemikiran mereka adalah sebuah skeptisme dan The Methode of Doubt (seperti yang digunakan oleh Descartes dalam mencari eksistensi tuhan). Jadi seolah-olah tuhan itu berada dalam sebuah sisi keraguan (abu-abu) dan manusia dapat secara bebas menginterpretasikannya. Hal inilah yang sudah diperingatkan Allah SWT secara langsung seperti yang sudah dijabarkan diatas (QS. Ali Imraan (3) : 7).

Lalu dengan demikian, apakah Tuhan itu dekat dengan makhlukNya, atau malah jauh dari makhlukNya?? Mari simak Firman Allah SWT berikut ini :

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaf (50) : 16).

Maksud dari ayat ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia tidak akan terlepas dari pengawasanNya. Namun demikian, kata-kata yang ditegaskan dalam ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Tuhan sebenarnya merupakan Dzat yang menjadikan eksistensi makhlukNya sebagai tanda-tanda dari eksistensi diriNya sendiri (tetapi bukan berarti Dzat Allah menyatu dengan Dzat MakhlukNya). Al-Quran memberikan citra monis (Tauhid/ke-Esa-an) Tuhan dengan menjelaskan realitas-Nya sebagai medan semua yang ada, dengan Tuhan menjadi sebuah konsep tunggal yang akan menjelaskan asal-muasal semua hal yang ada:
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Akhir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadid (57):3)

    II.            Dia Dekat, tetapi Tidak Terlihat. Lalu, Bagaimana Dapat Mengenali-Nya?

Sesungguhnya dalam menjelaskan eksistensi Tuhan, selayaknya berkacalah pada proses alam (Cara ini juga sangat dianjurkan oleh Al-Quran. Namun cara ini juga yang dilakukan oleh para ateis.
http://www.islamic-invitation.com/images/book_covers/the-oneness-of-god-in-islam_eng.jpgBedanya, para ateis berkesimpulan bahwa tuhan itu palsu/tidak ada, karena mereka terlalu mentah dalam berkesimpulan). Logika sederhananya adalah : misalnya setumpuk besi tidak akan bisa merakit dirinya sendiri menjadi sebuah pesawat terbang, maka begitu pula dengan alam semesta. Sedangkan metode yang dilakukan oleh para ateis adalah sistem penalaran logika terbalik.
Misalnya : Bumi berputar karena adanya efek gravitasi dari Matahari dan perputarannya mengelilingi matahari, maka begitu pula keseluruhan alam semesta (semua ini ada karena adanya kesetimbangan yang ada dengan sendirinya, tanpa campur tangan siapapun. Alam punya sistem sendiri, termasuk sistem restorasi, oleh karenanya alam semesta tidak akan hancur – hukum kausalitas alam-).
Penalaran logika semacam ini sesungguhnya merupakan sebuah penyimpangan dari sifat logika itu sendiri yang sesungguhnya merupakan media yang akan membawa kepada suatu kesimpulan yang tunggal. Kalaulah mereka beranggapan bahwa alam memiliki sistem kausalitas sendiri, selayaknya mereka berfikir juga tentang diri mereka, bagaimana mereka dapat bergerak tanpa adanya sistem syaraf selaku sistem koordinasi dalam tubuh? Maka seharusnya kesimpulan yang dapat diambil adalah sistem kausalitas tersebut merupakan bagian dari sebuah sistem koordinasi diluar kuasa alam semesta itu sendiri.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda(kekuasaan Allah) bagi orang yang berakal.” (Ali Imran (3) : 190)

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Fushilat (41) : 53)

    III. Masih tidak cukup? Atau masih ragu?

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi (baca : alam semesta) itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya (*teori big bang : dahulu, kurang lebih 15 milyar tahun lalu, semua materi alam semesta adalah suatu gumpalan dengan volume hampir nol. Lalu gumpalan itu meledak dengan ledakan yang dahsyat membentuk struktur alam semesta seperti sekarang, melalui proses yang sangat panjang). Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (Fakta biologis : 70% materi makhluk hidup adalah air). Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Al-Anbiya (21) : 30)

Tanda-tanda tersebut adalah untuk mengenalNya sebagai :
  1. Sebagai Rabb (Pembimbing dan Pengatur) dari alam semesta : Al-Fatihah (1) : 2
  2. Sebagai Malik (Raja) dari alam semesta : Al-A’raf (7) : 54
  3. Sebagai Illah (Sesembahan yang patut disembah) satu-satunya di alam semesta : An-Naas (114) : 3

Memang Allah tidak memaksa manusia menyembahnya, tapi harus diingat, bahwa segala keputusan ada konsekuensinya. Misal : ketika seseorang merasa lapar, pilihannya adalah makan atau tidak makan. Ketika ia memilih makan, maka kebutuhannya akan tuntas dan rasa lapar akan hilang. Namun ketika ia memilih tidak akan makan, niscaya ia akan kelaparan bahkan (dalam jangka waktu beberapa hari) dapat menyebabkan kematian.

Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (semua yang disembah selain Allah, termasuk logika dan eksistensi diri) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada utas tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Al-Baqarah (2) : 256

“Hai manusia ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, adakah sesuatu pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia, maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)??” Faathir (35) : 3

“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu- raguan terhadap Al Quran, hingga datang kepada mereka saat (kematian) nya dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.” Al-Hajj (22) : 55

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Ar-Rahman (55) : 13

 Wallahu A'lam Bisshowwab..

Referensi
Qaradhawy, Yusuf. Hakikat Tuhid dan Fenomena Kemusyrikan, Robbani Press.
Collins, Francis, The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief, Free Press 2006
Tjahyadi. S.P Lili., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
Theo Huijbers., Manusia mencari ALLAH suatu Filsafat Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius, 1977
Moris Engel and Engelica Soldan., The Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
________.The Miracle of Theism, USA; Oxford University Press, 1982
Skirry, Justin., Descartes for the Perplexed, British, 2008
K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer – Perancis, Jakarta: Gramedia, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar